Jujur saja, saya sering kehabisan ide untuk menulis disini, semenjak tinggal di Australia. Bukan berarti tidak ada yang menarik di Australia, terutama Canberra, tetapi karena saya terbiasa dengan menulis berdasarkan sesuatu yang “tidak seharusnya” atau paling tidak “bisa menjadi lebih baik lagi” dari beberapa peristiwa. Oleh karena itu, beberapa kejadian di Australia menjadi tidak menarik, karena seringkali “ya memang begitu seharusnya.” atau “sudah baik“.
Negara yang baik adalah negara yang dibangun oleh seluruh warga negaranya, bukan hanya pemerintah, bukan hanya rakyat, bukan hanya elemen bisnisnya dan bukan hanya parpolnya. Semuanya harus berpartisipasi dalam national development. Salah satu aspek dari partisipasi itu terlihat dari ruang yang terbuka untuk elemen diluar pengambil kebijakan, atau dalam bahasa Colebatch “attentive public” dan bukan hanya “sub-government”. Bentuk kongkritnya bisa dilihat dari keberadaan KOTAK SARAN. Katakanlah misalnya Dardias University sebagai sebuah universitas baru ingin tahu sejauh mana pelayanannya memuaskan seluruh elemen di kampus. Disediakanlah KOTAK SARAN di setiap fakultas dan juga tersedia online. Elemen kampus juga rajin mengirim kritik lewat media yang ada, managemen kampus menindaklanjutinya dengan segera bentuk partisipasi itu. Begitu seterusnya hingga terbangun situasi ideal apabila seluruh pihak berpartisipasi.
Dalam level negara juga demikian. Bentuk partisipasi yang dilakukan SLANK untuk anggota DPR di Senayan seharusnya disikapi dengan sangat bijak. Tidak ada kritik “yang membangun”. Semua kritik pada dasarnya tetap membangun. Terminologi “kritik membangun” sengaja dipakai rejim Soeharto untuk membungkam mereka yang “anti pembangunan” yang dengan gampang kemudian dicap sebagai “kiri atau PKI”. Mereka yang “tidak membangun” justru tidak akan meluangkan energinya untuk membuat sebuah kritik, apatis lebih baik. Tapi tunggu dulu, apatis pun juga bisa dianggap sebagai kritik, misalnya buat kawan-kawan yang memilih golput.
Jawaban KPK terhadap upaya penuntutan terhadap SLANK jelas, Al Amin ditangkap, plus PSK nya. Namanya Al Amin lho, sekali lagi Al Amin, -orang yang dapat dipercaya-. Aneh memang anggota DPR kita, lebih reaktif daripada jaman Soeharto. Iwan Fals jauh-jauh lebih keras kritiknya, judulnya saja Wakil Rakyat, dan sepertinya merupakan lagu yang selalu up to date bahkan untuk waktu yang sekian lama.
Australia adalah salah satu negara yang dibangun dengan bersama-sama itu. Salah satu contohnya ketika saya terkena parking fine yang bikin mangkel. Saya memang salah karena tidak memarkir Carol (nama mobil saya) di tanda PERMIT PARKING yang saya bayar $151 untuk 11 bulan. Denda untuk pelanggaran parkir ini luar biasa banyak, $159. Artinya, lebih banyak dari biaya bayar parkir tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena sudah 40 menit mencari lokasi parkir dan semuanya penuh, dan kelas sudah menunggu. Saya beresiko dengan parkir dan ternyata RANGER ANU tengah mencari mangsa. Mobil difoto dan sedetik setelahnya, bill pelanggaran ditempel di wiper. Sebelum saya, dua teman Indonesia juga terkena fine dengan sebab yang kurang lebih sama.
Perasaan marah, mangkel, kecewa, merassa bodoh, dls muncul sehabis kuliah ketika mendapatkan selembar parking fine di wiper (apalagi jika terbayang angka kurs saat ini yang kira2 sama dengan dua bulan gaji UMR pekerja Yogya saat ini). Dalam perjalanan pulang saya membayangkan akan bertindak sesuatu tentang kebijakan ANU SECURITY yang terus saja memberikan PARKING PERMIT kepada tiap student yang meminta, tanpa memperhitungkan kapasitas parkir yang tersedia. Parkir di ANU menjadi ajang bisnis yang memuakkan. Seharusnya ANU memperhitungkan kapasitas parkir dengan permit yang diberikan. Memang tidak harus satu berbanding satu karena setiap orang tidak datang bersamaan, tetapi cukup rasional untuk mendapatkan lokasi parkir. Malamnya, saya menyusun draft surat yang rencanaya akan saya kirim ke Vice Cancelor (Rektor) yang rajin mengirim surat ke seluruh student ANU setiap ada kejadian penting di ANU, ANU Security yang bertanggung jawab tentang perparkiran, Milis PPIA, Student Association (BEM nya ANU). Jika gagal, plan B saya adalah menempel di seluruh kampus isu tentang ANU Parking Business yang tercela. Rencana telah disusun, tapi saya ingin memastikan ide ini berjalan dengan berdiskusi dengan beberapa orang. Sejak awal saya sadar kekurangan saya berkaitan dengan kurangnya info akurat tentang berapa kapasitas parkir dan berapa parking permit yang telah diberikan. Yang saya tahu, susah mencari parkir tiap harinya.
Target saya tidak muluk-muluk, hanya memberikan awareness tentang pentingnya isu ini, tidak lebih. Saya juga akan membayar parking fine sesuai waktu, karena memang salah (saya tidak bisa mengelak karena foto si Carol masih dalam dokumentasi mereka). Jadi upaya ini hanya tindakan preventif untuk masa depan. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang, banyak yang tidak mendukung. Saya masih tidak gentar. Pada hari kedua, temen saya Indra bilang seolah saya berniat tidak membayar fine.
” udah deh, bayar aja deh, disini kalau lu salah lu memang harus akui kalau salah. Kalau lu benar, silakan tuntut sampai berhasil.”
Kata-kata yang terakhir ini membuat saya penasaran dan menunda aksi saya, dan berfikir. Saya tidak pernah berniat tidak membayar fine karena sadar bahwa salah. Masalahnya, saya juga yakin kalau ANU memang memakai Parkir sebagai upaya menarik revenue dari denda dengan sengaja tidak memberikan ruang parkir yang proporsional bagi pemilik Permit Parking. Tapi seberapa benar asumsi saya ini? Ah menunda beberapa hari tidak masalah, toh, isu ini tetap relevan.
Setelah sembuh dari trauma parkir yang berarti harus menyiksa diri dengan naik bis, akhirnya saya membawa mobil dan berkeliling ANU sampai sudut2nya untuk memastikan premis bisnis parkir benar. Eh, ternyata salah. ANU telah memberi ruang parkir yang cukup luas di sudut-sudut kampusnya. Jauh memang, tapi ada, yang penting ada, dan mungkin selalu ada, karena ketika saya parkir, setelah tidak dapat parkir di tempat saya biasa mencari, ruangan parkir itu masih sepi, masih mampu memuat lebih dari 25 mobil lagi.
Itulah susahnya di Australia, tindakan yang saya pikir bagus, ternyata telah diantisipasi. ANU bertidak lebih dulu dari pengkritiknya, bahkan calon pengkritiknya….
Catatan:
Saya selalu menamai setiap kendaraan yang pernah saya miliki sesuai sunnah Nabi SAW. Istri memberi nama semua mobil, saya menamai motor.
Motor Honda Supra XX warna silver biru metalik tahun 2002, motor pertama saya, bernama Ronggo, sekarang sudah dijual untuk modal bisnis tahun 2005.
Motor Honda Kharisma tahun 2004 warna merah putih limited Edition bernama Turonggo Kinasih (Asih). Sekarang di Sumedang, sebentar lagi dijual, ditinggal ketika berangkat sekolah.
Mobil sedan Toyota Soluna tahun 2000 warna biru metalik (punya istri) yang menemani kami sekeluarga sejak sebelum menikah bernama Luni , sekarang dijual buat modal bertahan hidup di Aussie, sekaligus beranak Carol.
Mobil Toyota Corolla Seca CS-i tahun 1993 model hatchback warna hijau metalik bernama Carol. Mobil ini yang sekarang menemani saya sekeluarga selama di Canberra.
Saya punya pengalaman meski tidak sama, tapi tetap ku ingat sampai sekarang. Saya di Jepang, biasanya sebelum ke lapangan mengambil sampel memarkir mobil di depan lab. untuk memasukkan peralatan. Saat itu saya tinggal sebentar karena di ajak berdiskusi dengan seseorang. Ketika saya kembali saya dapatkan stiker dari security campus yang menempel di kaca samping mobil berisi peringatan (susah melepasnya karena lengket). Saya waktu itu lupa menghidupkan hazard light, yang biasanya aman untuk keadaan seperti itu. Hal serupa juga dialami oleh prof. senior, dimana dia tidak menaruh kertas tanda parkir sementara di depan lab. Jadi emang bagus, security tak pandang bulu siapa parkir sembarangan maka kena peringatan. Kalau di sana sih belum denda, tapi masih dalam bentuk di kunci rodanya, dan baru bisa lepas kalo udah ada police nya datang.
Wah..dengar cerita Mas…serasa pingin kuliah di sana juga.
Ngomong2 bocorin supaya sampe bisa ke sana. Saya lulusan MM (Manajemen Asuransi) dari Gunadarma, sekarang ngajar di STIENUS Jogya, saya pingin ambil S3 di Australia juga.
Saat ini persiapan saya lagi ikut kursus2 inggris dulu
Tolong beri resep yang jitu, bagaimana cara nembus dosen ybs untuk bisa ajukan proposal riset..
Aku punya keinginan tapi buta banget…
Sekarang aku hanya download internet, dan udah coba apply ke IIEF, ADS dan AMINEF baru rencana, krn TOEFLku masih agak payah.
Bayu Dardias
Saya banyak berhutang kepada moderator MilisBeasiswa yang diisi oleh member yang aktif memberikan info tentang beasiswa. Mas Togap dan Bu Pangesti membuat kumpulan pengalaman banyak orang dalam bentuk buku kecil yang sangat berguna untuk beasiswa seeker. Kumpulan tulisan milister juga bisa diakses di milisbeasiswa.com. Saya pernah menulis tentang pengalaman wawancara ADS di blog ini. Untuk Ph.D sepertinya tulisan di jurnal international dapat meningkatkan secara signifikan posisi tawar seeker karena menunjukkan dua hal sekaligus, penguasaan materi keilmuan dan kemampuan bahasa inggris.
Keep Trying…
Itulah Pentingnya Verifikasi. Kalau jauh, tinggal datangnya dikira-kira yang ga akan ketinggalan kelas.
Ngomong-ngomong soal parkir, tempat parkir di Jakarta ternyata dikuasai oleh pengusaha parkir dari Australia lo… Aku pernah baca itu di Koran Tempo. Gila betul, masa Pemda ga bisa mengelola parkir sendiri. Kalau masalah program dan database yang dipakai oleh komputer parkir, tentunya ada sekian banyak programmer yang ada di Jakarta, Yogya, Bandung dan daerah lain di tanah air. Mungkin karena mentalnya pemerintah kita emang lebih suka dapat uang dari pajak daripada memberdayakan anak negeri untuk mengelola usaha sendiri. Tauk ah, tanah airku, tanah airmu juga.
Bukannya bus-bus di Canberra nyaman? Di Adelaide ajah aku nggak kepikiran buat beli mobil tuh, abisnya busnya nyaman, dan murah.
Bayu Dardias
Di Canberra dengan membawa keluarga sepertinya tidak ada pilihan deh selain pake mobil, irit dan praktis (bis dari rumah $3.30 one way, concession). Benefit punya mobil lebih tinggi daripada costnya hehehhe….
Bay, saya jd ingin sekolah disana.mungkin sekarang jadi takdir, kerja di Jepara, dapet orang jepara jg.tetap semangat di sana ya….terus terang aku udah kehilangan kontak dengan kamu, tapi ternyata Allah telah mempertemukan aku dengan kamu lewat internet ini.semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga. salam untuk istri tercintamu…
Pakde, mungkin maksudnya Parking Permit ya..wakakakak 😀 , kalau dah gini mesti jawabanmu “wong jowo kok, ya ra opo2” hahahahah. Di canberra dapet concession toh pak? di Melbourne posgrad students ga dapet, hanya undergrad ajah….hiks 😥
Kalau aku fully rely on sepeda pancal, kedua kaki dan public transport..kekeke
Bayu Dardias
Kalau kali ini aku yang bener ra 🙂 , Bukan Parking Permit memang, tapi Permit Parking. Parking Permit lebih berarti ijin memarkir kendaraan yang berupa stiker yang ditempelkan di Windshield mobil yang dimiliki oleh pemilik mobil. Sedangkan Permit Parking merujuk kepada tempat dimana pemilik Parking Permit boleh memarkir kendaraaannya. Nah maksudku memang Permit Parking, seperti yang Permit Parking Notice terpampang di tempat parkir khusus pemilik Parking Permit. Hehehe, masak sih gak nambah sih bahasa Inggrisnya 🙂
Trus, gak ada concession untuk parkir, concession 50% hanya untuk public transport. Tapi ketika mambawa keluarga di Canberra, sakit hati kalo ngandelin public transport.
O iya, pas Tommy dan Ade ke Melbourne beberapa bulan yang lalu. kita juga sampai muter2 hampir 1.5 jam hanya untuk cari tempat parkir….padahal acara makan malamnya ga sampai satu jam….