Ini cerita tentang kompetisi Spelling Bee yang diselenggarakan English First (EF) Yogyakarta tadi siang (3/4/2011) di Taman Pintar Yogyakarta. Acara ini merupakan acara puncak dari Edufest 2011. Spelling Bee adalah kompetisi untuk anak SD dan SMP (tergantung level) yang pada intinya meminta anak untuk mengeja kata dalam bahasa Inggris. Ketika juri mengatakan PUPPET misalnya, peserta mengejanya menjadi P-U-P-P-E-T. Pesertanya sekitar 30-40 anak dari beberapa SD di Yogyakarta dan kemudian dipilih tiga orang untuk memperebutkan juara 1,2 dan 3. Seleksi dari 40 peserta menjadi 3 juara dilakukan di sebuah ruangan tertutup dalam empat babak. Setelah terpilih, ketiga peserta terbaik maju ke atas panggung dan menjawab pertanyaan juri.
Ketiga peserta terbaik itu adalah Jilan, anak saya yang ikut kompetisi untuk pertama kalinya, Afkar, putra mas Gaffar kedua dari dosen dan rekan kerja saya di kampus, dan seorang anak lagi. Jilan dan Afkar mewakili SD Al Azhar 31 Yogyakarta yang dengan mudah ditandai dari baju seragam dan rompi yang rapi. Peserta terbaik lainnya, setelah diundi menempati Meja A, Jilan meja B, dan Afkar meja C. Saya akan ceritakan bagaimana proses pemilihan juara berlangsung dan mengapa saya dan mas Gaffar memutuskan untuk meminta Jilan dan Afkar turun dari panggung sebelum selesai.
Kompetisi juara ini terdiri dari dua babak. Pada babak pertama, setiap peserta mengeja kata yang dipilih secara acak dari toples. Setiap peserta memiliki 6 kesempatan untuk menjawab. Juri terdiri dari 4 native speakers yang membacakan soal secara bergantian.
Saya melihat panitia, termasuk juga juri, baik secara sengaja maupun tidak melakukan kecurangan yang menguntungkan peserta A. Beberapa kecurangan yang menjadikan kami menarik diri dari kompetisi tersebut adalah:
Pertama, pada babak pertama, peserta A dengan sangat-sangat jelas, salah mengeja STRAWBERRY, akhiran yang seharusnya (Y), diucapkan (I). Anehnya, juri memberi kesempatan kedua untuk menjawab lagi setelah terlebih dahulu juri membaca soal sekali lagi dan akhirnya jawaban kedua benar. Dalam babak ini, karena kecurangan tadi, nilai tiap peserta menjadi sama yaitu 5. Padahal, Satu kesalahan yang dilakukan Jilan dan satu kesalahan yang dilakukan Afkar, Juri langsung mengatakan INCORRECT. Satu-satunya soal yang diucapkan dua kali oleh juri dan memberi kesempatan kedua bagi peserta A dari 18 soal yang disampaikan di babak pertama adalah kata STRAWBERRY.
Kedua, karena kecurangan di babak pertama tersebut, harus diadakan babak kedua yang diperebutkan antara ketiganya untuk menentukan juara. Peserta A mengambil taktik yang bagus, dia selalu mengacungkan benderanya walaupun hanya satu (dari 3-4 kali percobaan) yang benar. Dalam ketentuan yang dibacakan, peserta harus mengangkat bendera dan menyebutkan mejanya. Peserta A hanya mengangkat bendera tanpa menyebutkan meja, tetapi diberi kesempatan menjawab. Pada saat skor Peserta A (5), Jilan (5) dan Afkar (6), dua juri sebelah kiri menunjuk kepada A tetapi Jilan yang juga mengacungkan bendera pada saat yang hampir bersamaan, menjawab pertanyaan dengan betul setelah terlebih dahulu menyebutkan mejanya. Juri yang membaca pertanyaan mengatakan CORRECT, dan Jilan mendapat nilai 6, sama dengan Afkar.
Sampai pada titik ini, panitia berhenti sebentar dan kemudian mengumumkan bahwa akan ada satu pertanyaan yang hanya boleh dijawab oleh B dan C, atau Jilan dan Afkar. Saya langsung berfikir pertanyaan ini untuk menentukan juara satu dan dua.
Ternyata dugaan saya salah, diumumkan kembali bahwa ada satu pertanyaan yang hanya boleh dijawab oleh A dan B. Pertanyaan dibacakan dan A mengangkat lebih dulu, dan menjawab dengan benar. Inilah kesalahan kedua dengan tidak memberikan kesempatan kepada semua peserta untuk berkompetisi. Menurut saya, jawaban Jilan sudah menjawab dengan benar dan berhak mendapat nilai, sehingga tidak perlu ada pertanyaan khusus untuk A dan Jilan. Ketika juri mengatakan CORRECT, harusnya itu menjadi kesepakatan seluruh juri. Atau kalau memang pertanyaan itu untuk peserta A, seharusnya tidak menunggu sampai Jilan menyelesaikan spelling atau sempat menjawabnya. Selain itu, peserta A yang berkali-kali menjawab salah tidak diberikan pengurangan, seharusnya diberikan pengurangan nilai agar anak dididik untuk memperhitungkan setiap pilihannya yang beresiko, bukan dengan mendidik anak agar latihan mengangkat bendera.
Karena kecurangan kedua ini, peserta A kembali masuk dalam kompetisi kerena semuanya mendapat nilai 6. Kemudian dibacakan kembali satu soal, dan kebetulan dijawab peserta A dengan benar dan di papan kemudian ditulis bahwa peserta A menjadi juara pertama. Saya mendekat ke mas Gaffar setelah beliau melakukan protes dan kemudian melakukan protes yang sama. Setelah itu, tulisan untuk juara pertama dihapus.
Terlihat jelas ada dua kali upaya untuk membuat peserta A tetap berada dalam kompetisi. Ini sungguh-sungguh kecurangan yang nyata. Mas Gafar meminta Afkar untuk turun dari panggung yang kemudian saya ikuti untuk meminta Jilan turun dari panggung. Tidak ada gunanya meneruskan kompetisi yang sudah jelas curang. Tidak baik untuk pendidikan moral anak.
Jilan turun dengan kecewa yang bisa dilihat dari ekspresinya. Pertanyaan pertama yang dia ajukan begitu turun dari panggung adalah:
“Ayah, He answered wrong for STRAWBERRY, why didn’t they say INCORRECT?”
Bahkan anak 9 tahun pun mengerti kecurangan telah terjadi.
Raut muka kecewanya hilang setelah beberapa saat. Saat itu saya bilang,
“I don’t want you to participate in the competition that is cheat. No matter if you are the champion or not, we are not a part of a cheating competition.”
Thanks to English First Yogyakarta to teach my son a lesson, CHEATING IS NOT GOOD.
Dear pak bayu,
Salam kenal , saya faisyal dari EF . Kami turut menyesali pengalaman yg bapak alami di kompetisi spelling bee EF . Seperti yang ibu arleta ( country director EF ) tulis di email, bahwa kami pasti menindaklanjuti soal ini
Apakah kami boleh menghubungi pak bayu secara personal melalui telepon?
Terima kasih pak bayu, salam untuk keluarga
Faisyal
hebat Bayu! juga anakmu1 (eh, anakmu dah SD?)
ide bagus mas mempublish tulisan ini. dengan tulisan ini orang jadi sadar bahwa banyak kecurangan di sekitar kita
Fairness and honesty, jauh lebih penting! Salute untuk sikap anda and Cak Gaffar Karim.
Jadi ingat jaman SMP, ketika kami SMP 1 Muntilan (Jawa Tengah) berlawanan dengan SMP lain dri Jogja (lupa SMP mana) di babak Final (cuma dua) Cerdas Cermat. Dibabat Akhir kita sempat memimpin, tapi sayang ketika Pertanyaan Rebutan. Tiba tiba lawan kita kayak peramal. Baru nyebutin 2 patah 3 patah kata, langsung pencet bell, dan jawabannya benar!!! Dan itu berlangung berkali kali sampai akhir sesi jawaban rebutan berakhir, ya akhirnya nilai kita disalip juga dan Akhirnya Kalah Deh walau menggerutu semau pendukung kita :(.
Hal tersebut juga pernah terjadi persis waktu saya ikut kompetis pelajaran Ilmu sosial waktu SD. Tiga orang masuk final berdasarkan soal tertulis yang tertinggi, lah ternyata juaranya di tentukan dengan tipe cerdas cermat, babak pertama n kedua normal, tapi pas babak ketika peserta dari SD Marganingsih bisa Jawab tanpa mendengan seluruh pertanyaan, persis seperti pas SMP, walau sempat tertinggal akhirnya dia yang menang.
Eh pas SMP kita bertiga ketemu lagi, Lina Noviarini (SDN Sedayu 2), Suryadi (si pemenang) dan saya (SDN Gondosuli 2) . Si suryadi ini ada satu kelas dengan saya, ternyata waktu sempat membicarakan kompetisi di SD dulu, dia diberi latihan soal yang di babak rebutan itu keluar semua!!! Damn!!
Semua membekas benar diingatan saya. Sampai segedhe ini.
Awww…prihatin!
soalnya peserta A les di EF, lomba gambar anak2 juga sama saja kok hehehe… , sejak kecil sudah diajari memenangkan golongannya sendiri, klo perlu dengan menghalalkan segala cara, GTH with fairness! ketika sudah tua kelak tidak akan jauh beda hasil didikan spt ini dengan melihat polah tingkah orang2 yang sekarang katanya ngurusi bangsa ini! 🙁
@ Faisal:
Terimaksih untuk komentar yang secepat ini. Menurut saya, tidak ada penjelasan yang lebih baik darpada saya menulis seperti ini. Semuanya menjadi jelas dan terdokumentasi. Komunikasi melalui telepon tidak akan memberikan penjelasan yang sejelas dan sebaik yang saya tulis.
Selain itu, tujuan saya untuk menulis di website yang bisa dibaca siapa saja adalah untuk memberikan kesadaran publik tentang kompetisi yang juga bersifat publik, diadakan arena public di Hall Taman Pintar Yogyakarta dan dilihat ratusan orang.
Lihatlah dampaknya jika hal ini terus dilakukan, bagaimana komentar Suluh dan Ando, sebuah peristiwa traumatik yang berlangsung lama. Jika anda tahu bagaimana saya berusaha untuk mengembalikan kepercayaan dan pengertian kepada anak saya, I wish he would not participate. Peristiwa ini sangat damaging, tidak hanya untuk saya, terutama untuk anak saya. Saya tidak ingin peristiwa ini menjadi traumatik untuknya.
Ini bukan masalah personal saya dengan EF, sama sekali tidak, sehingga hubungan personal tidak akan menyelesaikan masalah ini. Event Spelling Bee adalah event public sehingga penyelesaiannya juga seharusya public.
Saya menyediakan website ini sebagai ajang untuk menjadikannya pelajaran. Silakan anda tindaklanjuti di EF dan tuliskan hasilnya disini.
Jangan sampai, sebuah event public (diselengarakan di tempat terbuka), yang diprotes secara public (lewat web ini) , diselesaikan secara personal. Inilah cara menyelesaikan masalah yang tak benar, yang menjadikan Indonesia tak pernah menjadi negara yang belajar dari kesalahan.
Salut, bos Bayu…. Saya kira kita tahu persoalan bangsa ini. Karena lembaga-lembaga pendidikan pun juga banyak yang tidak memberikan palajaran penting bagaimana berbuat jujur dan meraih kemenangan dengan cara yang terhormat. Kalaupun memang Jilan dan Afkar tidak menang, yang paling penting adalah kompetisi EF memberi pelajaran berharga bahwa kecurangan semacam itu tidak patut dicontoh.
Saya setuju… perlu ada pembelajaran kepada publik…. Kirim aja ke surat pembaca di Kompas, Tempo, dll bos Kalau mau lebih cepat lagi lewat surat pembaca Detik….. 🙂 Jangan mau ada penyelesaian personal……
Eh kalau perlu juga kirim ke
JAKARTA POST……
Biar mantafffff…..
Bayu,
Thanks for writing this (on our behalf). Bagus juga jika hal ini dibaca oleh EF dan publik secara umum.
Yang dialami Jilan dan Afkar ini bukan pertama kali. Sejak kembali dari Australia thn 2008, Afkar selalu mengikuti kompetisi spelling bee ini, dan kerap kita merasa ada ‘something wrong’.
Saya kadang tergoda untuk berpikir seperti pengalaman beberapa rekan (misalnya Mas Suluh dan mas Ando), bahwa ada kecurangan yang didesain… Tapi saya tak ingin menuduh tanpa bukti. Saya hanya merasa selalu ada yg tak beres.
Menggugat juri selalu tak berhasil, karena aturan “keputusan juri tak bisa diganggu-gugat”.
Mengaca pada pengalaman itu, saya merasa tak berguna menggugat juri saat ada yang tak beres, dan itulah alasan utama kenapa saya meminta Afkar turun. Ketika Jilan juga turun, maka kompetisi otomatis berakhir. Hanya cara inilah yg bisa dilakukan untuk ‘melawan’ sikap juri dan panitia yang gojag-gajeg dan blatantly unfair.
Saya sebenarnya berharap banyak pada EF. Waktu Afkar (atau Perdana kakaknya — saya agak lupa) menjadi juara pertama SB, EF memberi voucher kursus dgn nilai lumayan besar. Saya rayu Perdana dan Afkar untuk ikut kursus di EF. Mereka menolak dengan alasan, “English courses are for those who don’t speak English”… Tapi saya tetap merayu mereka dengan cara menempel sticker EF di kaca belakang mobil. Kemana-mana, logo EF pergi bersama kami. Hingga minggu lalu, saya dan istri saya tetap mencoba mengingatkan anak-anak bahwa “attending the English course might be useful to keep your English.” Perdana menjawab, “Let’s see Mom. Maybe next year.”
Dengan pengalaman belakangan ini, saya tak yakin apakah kami masih mau bersusay-payah merayu Perdana dan Afkar. Kami tak ingin mendengar jawaban menyakitkan: “No Dad, English courses are only for those who cheat!”
Naudzubillah…
Spelling bee dengan semangat cerdas cermat P-4..wkwkwkwk 😆 😆 😆 😆 😆
Sebuah refleksi yang sangat menarik. Salut kepada sobat-sobatku Bayu dan Gaffar yang sejak dini mendidik anak-anaknya untuk memahami realitas: bukan hanya soal ada menang dan kalah dalam hidup, tapi ada juga unfair competition in life. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk membuat Indonesia lebih baik…
Bayu dan mas Gaffar, ini sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk semua…. Terima kasih sudah berbagi.
Memperbaiki bangsa ini memang harus kita lakukan juga dengan mendidik moral anak-anak kita sejak dini. Saya menaruh harapan yang besar pada generasi ini, karena saya yakin ketika generasi kita sudah memasuki usia senja, belum tentu negeri ini jadi lebih maju. Kejujuran adalah moral yang sulit kita temukan saat sekarang.
halo pak bayu ,
Maaf jika maksud saya diselesaikan secara personal memiliki konotasi yg negatif , namun niat kami ingin menjelaskan hal ini 🙂
tapi kami sudah kordinasi langsung ke panitia di Yogya ( karena saya sendiri dari EF pusat di tamara center, Jakarta ) . Dalam waktu dekat , panitia akan memberikan respon nya di blog bapak
terima kasih pak bayu 🙂
Kepada Bapak Bayu dan Bapak Gaffar,
Kami, English First (EF) Jogja sebagai pihak yang diajak bekerja sama dengan pihak penyelenggara Edufest 2011, Terompet Production memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekhilafan dan ketidaknyamanan yang terjadi pada event Spelling Bee Competition minggu kemarin.
Ke depannya, hal tersebut menjadi pembelajaran yang berharga bagi kami dalam menyelenggarakan event lain yang lebih baik lagi.
Terima kasih atas masukan dan kritikan dari Bapak. Atas perhatian bapak, sekali lagi kami ucapkan terima kasih.
Salam,
EF Jogja
Kepada EF Jogja,
Salut atas responsnya. Semoga hal-hal seperti ini tak terjadi lagi di masa depan, agar reputasi EF sebagai lembaga belajar bahasa Inggris terbaik di kota pendidikan ini tetap terjaga.
Sukses selalu,
Gaffar
Dari sisi Jilan dan Afkar sudah diulas, saya melihat dari sisi peserta A mentalitas macam apa yang terbentuk sampai dewasa nanti jika dari kecil dikondisikan untuk menang? bukankah kompetisi bukan semata-mata menang dan kalah, tapi lebih utama bagaimana kita mengeluarkan kemampuan terbaik kita?
Terimakasih atas responnya EF Yogyakarta, semoga tetap menjadi yang terbaik di Yogyakarta. Saya menyatakan persoalan ini telah selesai.
Kepada Bapak Bayu dan Bapak Gaffar,
Terima kasih atas respons dan doanya yang sangat membangun. Semoga di lain kesempatan, kita bisa bekerja sama kembali.
Best,
EF Jogja
Dear pak Bayu dan pak Gaffar,
Salam hangat,
Kami dari Terompet yang merupakan penyelenggara Jogja Edu Fest 2011 dan Spelling Bee Competition bermaksud untuk menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang Bapak alami selama kompetisi berlangsung.
Hal ini menjadi masukan yg sangat berarti bagi kami sebagai pihak penyelenggara.
Kami berusaha untuk selalu dapat menjaga integritas dan sportivitas dalam segala hal.
Atas perhatian dan input dari Bapak,kami ucapkan terimakasih.
Salam
Terimakasih, semoga penyelenggaraan ke depan semakin baik.
Wow..hmm ternyata bisa ya lembaga besar curang..hmmm..padahal murid saya baru mo ngikutin lomba yg sama di hari minggu..semoga EF disini tidak mengulangi kesalahan yg sama. Thanks for Sharing..^^
Iseng saya browsing soal info speelling bee competition untuk EF tahun 2015, langsung menemukan Blog Pak Bayu ini.
Pengalaman dari tahun 2011 dan sekarang sudah di tahun 2015 masih dengan ‘manis’ tersaji disini…. What a shame untuk penyelengara pendidikan selevel EF yang katanya banyak native speakersnya (I’m assuming native nya sudah sangat berasimilasi dengan budaya segala jenis ‘lomba’ di Indonesia).
Dari awal saat anak saya, the-not-so-fancy-competition-girl ingin didaftarkan lomba spelling bee EF saya sudah ragu. Sudah hapal adat lomba lomba beginian di Indonesia seperti apa. namun karena rasa senang bahwa anak saya akhirnya mau mencoba berkompetisi akhirnya mendaftar. Di saat yang sama ada dua tawaran spelling bee competition, dan karena pendaftaran hanya per sekolah bukan per individu, terpaksa mengikut daftar untuk EF karena sekolah anak saya hanya mengurus pendaftaran untuk EF, as you may guess, guru pendamping lomba ngajar juga di EF)
Harus menyiapkan mental anak saya jadinya ini karena pengalaman Jilan dan Afkar
Saya rasa Jilan, Afkar dan Maureen anak saya, anak-anak yang pernah merasakan ‘surga’ sekolah di Luar Indonesia, sudah banyak keluhan tentang bagaimana hidup di Indonesia. Apalagi ditambahi hal-hal soal unfairness and cheating seperti ini.
Semoga Jilan dan Afkar tetap menjadi pribadi yang mengutamakan kejujuran. salut untuk ayah-ayahnya
2018
As an EF teacher we are asked to commit fraud by management everyday. If you have any integrity and care for your children’s health and education remove them and invest in real education. Unfortunately, parents want the easy way out. If you pay the bill your students will graduate even if they never take an exam. There are no ethical standards at this organization.
Wah…niatnya searching contoh soal spelling bee contest-nya EF..si Abang lusa mau coba ikut. Eh keluar ulasan pak Bayu ini. Duh prihatin…ksian si anak meja A ya, andai benar di-set oleh beberapa oknum agar dia menang, bukankah secara tdk langsung mereka sedang “underestimate” terhadap kemampuan anak ini ya? Betapa terpukul bila belum2 sudah dianggap tidak cukup mampu sehingga sampai dirancang kecurangan demi memenangkan dia..😔😔😔
Abang juga bukan siswa EF ini…dia cuma pingin coba…pingin tahu…saya tawarkan kursus pun belum minat. Jadi semoga besok lomba ini kondusif utk pengalaman barunya.
Oiya, pernah dia ikut suatu lomba matematika yg digelar sebuah bimbel math di kota kami…lumayan punya nama dan bukan cuma di kota kami sih…qodarullah dia dpt juara, secara dia “outsider”-bukan siswa bimbel math tsb, saat result keluar, para ortu peserta yg notabene para murid bimbel itu rada heboh… “who is he?” Tapi alhamdulillah penyelenggara nya fair, jd abang ttp dpt true result, sesuai score yg dia dapet saat lomba. Meski ending-nya si abang ttp menolak tawaran les math disitu, tapi saya pribadi respek sih thd integritas penyelenggara/bimbel nya…nama baik bukan sekedar dari titel juara anak didiknya, tp penting lg dari profesionalisme dan kejujuran yg mereka pegang. Salut😊
Semoga next events spelling be EF benar2 belajar dr kejadian Jilan dan Afkar.